Beberapa pekan ini, media massa –baik cetak maupun
elektronik -- ramai memberitakan dan mendiskusikan masalah pro-kontra
pembatalan konser penyanyi Amerika Lady Gaga di Indonesia. Berbagai alasan
dikemukakan. Pihak yang mendukung konser Lady Gaga beralasan bahwa konser musik
adalah bagian dari kebebasan berekspresi, sebelumnya terjadi juga pembubaran
acara diskusi (lebih tepatnya orasi propaganda) di salah satu
kampus terbaik negeri ini (UGM) yang berencana menghadirkan pembicara kontroversial
irshad manji (yang juga sekaligus pengidap penyakit penyimpangan seksual
lesbian), tetapi menarik melihat respon "sebagian besar media", dan "sebagian
kecil masyarakat" kita , terhadap pembatalan impor budaya sampah
tersebut, Pertama masalah konser : Polisi ,dalam hal ini polda metro
jaya mengeluarkan rekomendasi pelarangan setelah terjadi gejolak sosial pada
masyarakat tentang penolakan terhadap konser tersebut, konser ini dinilai
sebagian besar masyarakat hanya meracuni pemikiran dan gaya hidup anak muda
indonesia yang semakin lama ,semakin rendah saja dalam mematok standar dalam
menjadikan seseorang sebagai idola sangat "bermental jajahan", konser yang tidak sesuai dengan kearifan
lokal yang juga non-pancasilais ini ,sebagai representatif budaya neo-liberal yang
coba dipasarkan melalui agen-agennya di indonesia hanya dengan pertimbangan
komersil tanpa memikirkan efek negatif dari konser ini, saya agak heran dengan
sikap kita ini, padahal di berbagai kuliah pada pasca sarjana yang saya tempuh
tentang kajian - kajian akademis terkait masalah ekonomi dan budaya, issue
mengenai "ethics" juga "social responsibility"
menjadi pembicaraan mutahir dan serius dikaji serta mendapat atensi tinggi pada
saat ini dari pakar-pakar akademis di barat, dimana terjadi pergeseran paradigma
terhadap pemikiran barat yang semakin mengadopsi budaya "timur",
contohnya adalah jika dahulu para ekonom kapitalis beranggapan bahwa
tujuan dari business process sebuah perusahaan adalah only "being
profitable" sebagai tanggung jawab ekonomis, maka sekarang lahir konsep yang menjelaskan bahwa tujuan puncak dari perusahaan adalah tidak sekedar menghasilkan profit
, tetapi menjadi Good Corporate Citizen, maka
lahirlah konsep corporate social
responsibility (CSR) sebagai tanggung jawab sosial.
Jika mereka saja (barat) mengadopsi budaya timur untuk perbaikan dan pengembangan kehidupan mereka, lalu untuk apa kita mengimpor budaya sampah mereka yang jelas-jelas tidak ada manfaatnya dan cenderung merusak bahkan sudah ditinggal oleh barat? Lalu dimanakah tanggungjawab sosial promotor kita terhadap generasi muda bangsa untuk memfilter perilaku penghujatan agama, penyembahan setan, budaya seks bebas, porno aksi yang sering ditampilkan lady gaga? http://showbiz.vivanews.com, menurunkan berita berjudul: “Mimpi Lady Gaga: Selalu Dihantui Roh Jahat”.
Kata Lady Gaga, "Aku berulang kali bermimpi ada hantu di rumahku dan
dia membawaku ke sebuah ruangan." Sebelumnya, pada 2 Februari 2012,
situs yang sama juga menulis berita berjudul “Lady Gaga Berburu Sperma Pria Berdarah Italia.”
Apakah budaya-budaya seperti ini yang layak diimpor kesini? Apakah ada jaminan bahwa anak muda indonesia yang dikenal labil , mampu memfilter dan hanya sekedar menikmati musik? apalagi kita tahu kecenderungan seorang fans terhadap idola bersifat imitasi, dia akan sebisa mungkin menyamai idolanya dalam hal apapun termasuk gaya hidup menyimpang sang idola, Daniel Kruger, seorang psikolog evolusioner dari Universitas Michigan
menyatakan bahwa remaja sekarang cenderung mempelajari dan mengikuti
prilaku para idolanya. Bahkan James Houran menyatakan bahwa selebritis
sudah seperti obat-obat terlarang (bahaya kecanduannya) KEDUA pembatalan diskusi di kampus saya (UGM) , oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Soedjarwadi, M.Eng., Ph.D. , saya merasa lega institusi tempat saya belajar, ternyata mempunyai filter terhadap mana yang layak didiskusikan secara ilmiah mana yang tidak layak, jika kita membaca buku terbaru irshad manji berjudul “Allah, Liberty and Love" terlihat jelas buku ini sangat tidak layak disebut karya ilmiah dan besifat fiksi, kata-kata yang digunakan Manji dalam berbagai bagian buku ini sangat vulgar, jauh dari nuansa akademis. Dan lucu nya dia diundang sebagai reformis islam , bagaimana mungkin seseorang yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama islam diundang ceramah sebagai pembicara tetang islam? Inilah mungkin yang dimaksud oleh para ulama sebagai Ruwaibidhah = Orang DUNGU yang sok berbicara tentang umat.
Inilah realita bangsa indonesia yang masih bermental dijajah, mudah sekali mengimpor dan menyerap budaya-budaya merusak, mengundang pembicara sampah untuk materi yang gak penting , hanya hujatan kepada agama dan jauh dari kesan ilmiah, padahal masih banyak budaya luar yang layak kita adopsi seperti "budaya inovatif" pendiri Apple Steve Jobs, kalau saja indonesia bisa mengundang pembicara berkelas seperti bill gates untuk menceritakan kisah hidup yang inspiratif , bagaimana dia membangun Microsoft hingga sebesar saat ini, mungkin ini lebih berguna daripada mengudang seorang pengidap penyakit menyimpang seksual sepeti manji untuk berbicara masalah agama yang dia sendiri tidak pernah mendalaminya....Inilah mengapa saya simpulkan terjadi keterbelakangan logika dan juga degradasi intelektulitas di negeri ini, bangkitlah pemuda untuk kemajuan bangsa ini, jangan mau hanya menjadi penonton pengembangan peradaban, tapi jadilah pelaku sejarah dan membangu peradaban, hal ini dapat kita mulai dengan meninggalkan budaya sampah dan mempelajari budaya-budaya luhur mengenai IPTEK dan hal-hal berguna lainnya.